Warisan Rasulullah

Warisan Rasulullah

April 30, 2016 0 By admin

mencintai-nabi-muhammad-saw-ilustrasi-_120207074258-142Diceritakan, sepeninggal Nabi saw, putrinya, Siti Fatimah, meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar diberikan warisan dari harta peninggalan Nabi. Namun, Abu Bakar menolak permintaannya. Dasarnya, sabda Rasulullah saw sendiri: “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR. Bukhari dari Aisyah).

Dalam riwayat lain, dikisahkan pula bahwa sahabat Abu Hurairah merasa heran melihat banyak orang di salah satu pasar di madinah, yang begitu sibuk berbisnis. Lalu, kepada mereka Abu Hurairah bertanya: “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi”? Mereka pun bergegas menuju masjid. Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid, ” sanggah mereka. Jawab Abu Hurairah: “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca al-Qur’an, dan belajar tentang hukum-hukum Allah”? “Itulah warisan Nabi,” sambungnya lagi. (HR. Thabrani dari Abu Hurairah).

Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi saw bukanlah harta, tetapi ajaran Islam. Karena warisannya bukan harta, tetapi agama, maka yang menjadi pewaris Nabi bukanlah keturunannya an sich, tetapi para ulama. Nabi sendiri, seperti diwartakan oleh semua perawi hadis (ash-hab al-Sunan), menegaskan: “al-`Ulama waratsat al-Anbiya’” (Para ulama adalah pewaris para Nabi.”).

Sebagai pewaris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ila sabil-i rabbik (QS. Al-Nahl [16]: 125) melalui tabligh, amar ma`ruf dan nahi munkar, serta dengan amal shalih dan keluhuran budi pekerti (al-da`wah bi lisan al-hal) (QS. Fushshilat [41]: 33), seperti ditunjukkan dengan sangat baik oleh kedua sahabat Nabi, Abu Bakar al-Shiddiq dan Abu Hurairah, dalam kisah di atas.

Belajar dari dakwah sahabat Abu Hurairah dalam kisah ini, maka ada 2 (dua) hal yang secara absolut harus dimiliki oleh para ulama dan para da`i.

Pertama, hikmah, yakni ilmu dan kearifan dalam mengidentifkasi masalah dan memberikan jawaban (solusi) yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut. “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. Al-Baqarah [2]: 269).

Kedua, qudwah hasanah, yakni keteladanan baik dalam sikap maupun prilaku, sehingga sang da`i layak sebagai tokoh panutan (patron client) yang dalam bahasa modern disebut “model peran,” (role model). (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Warisan yang sesungguhnya ternyata bukanlah harta, melainkan agama dan hikmah atau kebenaran universal. Setiap orang beriman, setingkat dengan ilmu dan kesanggupan yang dimiliki, diminta untuk menjaga “warisan suci” ini. Pesan Nabi: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan sesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul.” (HR. Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan). Wallahu a`lam!