Taman Sorga
April 29, 2016Dalam satu perjalanan, dicertiakan bahwa Nabi saw mengingatkan para sahabat, agar tidak lupa apabila melewati taman sorga (riyadh al-jannah), mereka harap berhenti (mampir). Mereka bertanya, “Apakah taman sorga itu?” Jawab Nabi: “Majalis al-Dzikr” (majlis-majlis zikir). (HR. Thurmudzi dan Ahmad dari Anas ibn Malik).
Majlis zikir itu dalam riwayat lain, disebut majlis ilmu, dan dalam riawayat yang lain lagi disebut masjid. Masjid atau majlis zikir disebut taman sorga dalam kisah di atas, dapat dipahami dalam beberapa makna.
Pertama, bagi kaum beriman, masjid tak ubahnya taman, yaitu tempat yang indah dan nyaman. Kita harus rajin ke masjdi, agar kita memperoleh kesegaran dan kebugaran, tidak saja fisik, tetapi terutama mental dan spiritual.
Kedua, Nabi saw wanti-wanti agar dalam melakukan perjalanan, travelling (al-safar), kaum beriman tidak lupa berhenti dan mampir di masjid, untuk shalat, zikir dan taqarrub kepada Allah. Pada masa kita sekarang, peringatan Nabi ini sungguh penting, karena banyak orang dalam perjalanan, jauh atau dekat, hanya berhenti di rest area untuk makan dan minum saja. Mereka lupa, tidak berhenti melaksanakan shalat di masjid yang oleh Rasulullah saw disebut taman sorga itu.
Ketiga, masjid atau majlis zikir disebut taman sorga, karena orang yang rajin ke masjid, dan rajin berzikir, maka ia sesungguhnya sedang membangun rumah dan tamannya sendiri yang indah di sorga. Maka kaum beriman diseru agar banyak zikir. “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab [33]: 41).
Zikir itu sendiri bermakna mengingat Allah atau menyadari kehadiran-Nya, sehingga yang bersangkutan terbebas dari penyakit kehampaan spiritual yang akan membuatnya terjaga dan terpelihara dari dosa-dosa dan maksiat. Di sinilah makna paling penting dari zikir, sampai-sampai imam al-Qusyairi dalam Risalah-nya (Risalat al-Quyairiyah) menyebutnya sebagai “Ruknun qawiyyun fi thariq al-haqq” (jalan paling prinsipal menuju Tuhan). Bahkan bagi Qusyairi, tak bisa dibayangkan seorang bisa sampai (ma`rifah) kepada Allah tanpa zikir secara terus menerus (wa la yashil ahadun ila Allah illa bi dawam al-dzikr).
Zikir sebagai proses mempertinggi kesadaran tentang kehadiran Allah, bisa dilakukan secara lisan (al-dzikr bi al-Lisan) dan secara rohani atau spiritual (al-dzikr bi al-Qalb). Para sufi, termasuk Qusyairi, memahami zikir secara lisan hanya sebagai alat untuk mengugugah dan menyadarkan orang yang berzikir, agar ia mampu berzikir lahir dan batin sepanjang waktu. Kemampuan zikir lahir dan batin sepanjang waktu (istidamat al-dzikr) disebut oleh Nabi saw sebagai perbuatan paling utama, yaitu tatkala seorang hamba menghembuskan nafsnya yang terakhir, sedangkan lidahnya basah (komat-kamit) karena zikir dan meningat Allah.