Kemenperin Paksakan Impor Garam Tanpa Bina Petani Domestik
Januari 29, 2018JAKARTA – Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono, mengisyaratkan pentingnya ketersediaan bahan baku garam untuk menunjang keberlanjutan produksi dan investasi di sektor industri.
“Oleh karena itu, Pemerintah berupaya untuk memberi kemudahan termasuk izin importasi bahan baku garam untuk kebutuhan sejumlah manufaktur,” ujarnya.di Jakarta.
“Pemenuhan bahan baku untuk industri tentu membawa multiplier effect bagi perekonomian nasional. Misalnya, impor bahan baku garam sebesar 3,7 juta ton yang senilai Rp1,8 triliun, akan diolah menjadi berbagai macam produk dengan nilai tambah lebih besar.
Nilai tambah itu, antara lain melalui kontribusi PDB sebesar Rp1.100 triliun, penyerapan tenaga kerja sebanyak 4 juta orang, dan perolehan devisa dari ekspor mencapai USD30 miliar. Kebutuhan tersebut, katanya, disalurkan ke industri Chlor Alkali Plant (CAP), untuk memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2.488.500 ton. Selain itu, bahan baku garam juga didistribusikan kepada industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton serta industri aneka pangan 535.000 ton.
“Beberapa sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti industri petrokimia, makanan dan minuman, serta farmasi dan kosmetik,” ungkapnya seraya menyebut industri manufaktur menjadi sektor andalan karena berkontribusi signifikan dalam upaya memenuhi target pertumbuhan ekonomi nasional.
BINA PETANI
Di tempat terpisah, anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Prof Dailami Firdaus menyoal dipaksakannya impor garam menyusul impor beras oleh pemerintah. Beras impor dilakukan di tengah panen raya petani beras, sedangkan garam impor hanya selisih 2% dari kualitas petani garam nasional.
“Pertanyaannya mengapa pemerintah selalu mengumumkan impor pangan dalam keadaan waktu mendesak. Bukankah pemerintah punya menteri dan jajarannya membantu dengan data valid untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak terburu-buru,” ujar Senator DKI Jakarta itu. “Kenapa nggak dibina dulu petani domestik sebelum impor pangan karena selama 2 tahun Kementan (2016-2017) tidak impor walau perberasan carut marut?”
Diakuinya, impor pangan memang cara termudah memenuhi kebutuhan konsumsi domestik karena di dalamnya ada komisi & selisih harga yang menguntungkan pelaku impor ketimbang butuh waktu lama membuat pintar petani domestik.”Artinya, kapan Indonesia bisa keluar dari krisis multidimensi tersebut?.” (rinaldi/sir)