Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam penanggulangan korupsi di Indonesia

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam penanggulangan korupsi di Indonesia

April 30, 2016 0 By admin

AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SALAH SATU PILAR BANGSA DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI DI INDONESIA

Oleh: Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, SH, LLM, MBA

  1. Pendahuluan

Penataan sistem politik dan ketatanegaraan sesuai tuntutan semangat reformasi sejak tahun 1998/ 1999 harus diakui ada kemajuan yang signifikan, jika dibandingkan dengan penyelenggaraan kehidupan politik ketatanegaraan di era orde lama dan orde baru. Walau demikian laju perkembangan kian hari di rasa semakin lamban, bahkan ada yang menyebut “jiwa reformasi telah mati suri”, terutama jika dilihat dari perspektif yang lebih substansial yang menyentuh komitmen dan kesadaran melaksanakan nilai-nilai dari ke empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika – sebagai semboyan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara). Hal ini tentu sejalan dengan spirit baru dalam konstitusi (UUD 1945) yang merupakan salah satu agenda reformasi untuk diamandemen agar dapat ditegakkan supremasi hukum dan konstitusi secara konsisten, berani, efektif, dan berkelanjutan. Konsepsi dan program ini diletakkan secara baik dan benar dalam konteks membangun konfigurasi politik yang lebih demokratis, menjunjung tinggi prinsip ham agar tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan beradab.

Forum wacana dan diskusi ilmiah popular tentang dan seputar ke empat pilar bangsa belakangan ini marak mengemuka di tengah publik dalam dinamika pemikiran konstruktif semua elemen bangsa dengan jiwa penuh optimis dalam menatap masa depan bangsa dan negara. Tidak ketinggalan peran strategis Lemhannas melalui kegiatan semacam ini secara berkelanjutan. Selain itu hidupnya forum ilmiah dan ilmiah popular di kalangan kampus, LSM, dan media massa ibu kota maupun lokal, dan upaya mensosialisasikan nilai dan semangat empat pilar dalam berbangsa dan bernegara.

Melalui harian kompas edisi 23 April 2011 misalnya diberitakan pernyataan Ketua MPR-RI, H. M. Taufiq Kemas yang menarik disimak. Dikatakannya bahwa MPR meminta bantuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk badan khusus yang berfungsi menyebarluaskan empat pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini bisa dimaklumi karena MPR yang hanya beranggotakan 692 orang tentu tidak mampu melakukannya sendiri hingga ke pelosok tanah air. Melalui forum dan tema makalah ini kami juga berupaya berinisiasi menyamakan visi, dan komitmen dalam suatu gerak langkah bersama melaksanakan program sosialisasi, diseminasi dan penyebarluasan baik kepada peserta seminar maupun masyarakat Indonesia secara luas. Ini diharapkan nilai-nilai, prinsip, jiwa dan semangat, yang terkandung dalam ke empat pilar bangsa baik secara tersurat maupun tersirat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari oleh semua elemen bangsa dan negara, baik pemerintah (negara) maupun masyarakat bangsa secara keseluruhan. Ke empat pilar tersebut selain yang telah dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke empat yang menentukan atau menetapkan nilai-nilai pancasila juga pengaturan lebih lanjut atas pilar yang lain ditentukan dalam batang tubuh dari UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sebagai misal landasan hukum tentang NKRI tercantum dalam pasal 1 ayat (1), pasal 18 ayat (1), pasal 18 b ayat (1), 18p ayat (2) pasal 25a dan pasal 37 ayat (5) UUD 1945.

Sedangkan untuk pilar Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara telah ditetapkan dalam pasal 36a UUD 1945 jo penjelasan umum UU No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Jika dikaitkan dengan fungsi dan peran nilai-nilai pancasila dalam konteks penegakan supremasi hukum, sebagai konsekuensi dari kedudukan Indonesia sebagai negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Terutama komitmen melaksanakan dan menegakan hukum (law enforcement) dalam bidang penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia, baik yang bersifat pencegahan atau prevensi maupun pemberantasannya atau represif. Regulasi atau instrument hukum dimaksud antara lain:

  • UU No. 31/ 1999 jo UU No. 20/ 2011 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi.
  • UU No. 28/ 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
  • UU No. 30/ 2002 tentang KPK.
  • UU No. 08/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
  • UU No. 02/ 2002 tentang Polri.
  • UU No. 16/ 2004 tentang Kejaksaan RI.
  • UU No. 48/ 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • UU No. 46/ 2009 tentang Pengadilan Tipikor serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Selain itu hal yang perlu diperhatikan oleh para penyelenggara negara dan masyarakat umum adalah norma dan nilai keagamaan, sosial, budaya yang berlaku dan hidup dalam praktek sehari-hari masyarakat Indonesia. Dengan demikian kekuatan, identitas, spirit, jati diri dan marwah kehidupan kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat penuh tetap dihormati, di kawal dan dijunjung tinggi baik oleh bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lain dalam percaturan dan pergaulan internasional di tengah derasnya arus globalisasi perdagangan barang maupun jasa internasional.

  1. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar belakang masalah pada sesi pendahuluan yang mendukung substansi tema paper ini maka permasalahannya adalah bagaimana upaya yang efektif dan efisien dalam membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai keabadian kita sebagai bangsa untuk mencegah dan memberantas perilaku dan perbuatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) di Indonesia?

  1. Pembahasan dan Analisis

Pancasila dengan kandungan spirit nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, seyogyanya diapresiasi sebagai modal yang luhur agung dan menakjubkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berbasis membangun manusia Indonesia secara utuh dan terintegritas dalam semua dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tepatlah apa yang diungkapkan oleh Prof. Prasetijo Rijadi – Guru Besar Ilmu Hukum dan Direktur Pascasarjana Universitas Bhayangkara Surabaya (2010, XIII). Dikatakannya, kita semua mesti menyadari bahwa Pancasila merupakan produk budaya dan pemikiran cerdas untuk melandasi semua dimensi kehidupan negara. Selanjutnya dikatakan, ilmu hukum adalah juga hasil proses dari keilmuan yang secara domestic mestinya dapat menyerap prinsip-prinsip utama dari Pancasila itu. Hukum yang berdasarkan Pancasila menurut Prof. Prasetijo, pasti tetaplah ilmiah (scientific mind) dan bukan kumpulan dogma semata-mata.

Selain itu, menurut Prof. Mahfudz MD, dalam bukunya, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (2010, 243), bahwa dengan dibatalkannya Piagam Jakarta oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, sehingga sila pertama dari dasar negara berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan begitu, Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah religious nation state bukan negara agama (yang menganut satu agama tertentu), dan bukan negara sekuler (yang hampa agama). Indonesia adalah negara kebangsaan yang religious yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakatnya. Selain itu, kedudukan Pancasila selain sebagai ideology negara, pedoman dan pandangan hidup bangsa, juga merupakan sumber segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 berikut penjelasan UU No. 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea keempat. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideology negara serta sekaligus dasar filosofi negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pandangan ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum A. Ridwan Halim dalam bukunya berjudul Dasar-Dasar Pengetahuan Hukum dan Penalaran Hukum Indonesia (2011, 2). Dikatakannya bahwa fungsi Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia pada dasarnya adalah sebagai:

  1. Landasan idiil, dasar falsafah negara, pandangan hidup dan gambaran budaya bangsa di mata dunia Internasional.
  2. Sumber dari segala sumber hukum.
  3. Kompas perjalanan bangsa dan tongkat panduan moral bagi seluruh rakyat Indonesia.
  4. Kebudayaan asli bangsa Indonesia secara nasional.
  5. Sumber nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan seluruh warga masyarakat Indonesia di dalam hidup berbangsa dan bernegara.
  6. Jembatan pemersatu bangsa dan penganut kerukunan antar umat beragama yang berbhineka di Indonesia.

Atas dasar gagasan dan pemikiran itu maka segala tindak tanduk dan perilaku para penyelenggara negara, aparatur pemerintah, pemimpin masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan semua elemen bangsa dan negara seyogyanya berpedoman kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dan sebaliknya, tidak boleh memperlihatkan sikap yang tidak taat asas dan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat negara maupun aparatur pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Nilai-nilai luhur mulia yang wajib dipedomani dalam pengelolaan dan penyelenggaraan oleh pejabat negara dan aparatur pemerintah termasuk para penegak hukum antara lain nilai-nilai keteladanan, perilaku yang tidak koruptif, kesederhanaan hidup sehari-hari dan jauh dari sikap hidup yang hedonistis, kemewahan, dan keserakahan, tanpa memperdulikan nasib rakyat miskin dan orang-orang tidak mampu disekitarnya. Sedangkan sikap-sikap yang melawan hukum dan tidak taat asas yang seyogyanya dijauhi antara lain: penyalahgunaan wewenang dan jabatan, melakukan pelanggaran hukum dan tindak kejahatn dalam berbagai bentuk. Termasuk melakukan perbuatan dan tindak pidana korupsi dengan berbagai faktor penyebab, latar belakang dan motivasi, baik yang bersifat kelalaian maupun karena kesengajaan.

Dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila secara baik dan benar penuh konsistensi dan istiqamah oleh semua penyelenggara negara, aparatur pemerintah, dan semua elemen bangsa maka kekuasaan yang telah dipercayakan akan dijalankan secara amanah sehingga perilaku koruptif dapat dihindari sedini mungkin. Sebaliknya, jika nilai-nilai Pancasila diabaikan dalam pengamalan hidup sehari-hari maka kekuasaan akan mudah disalahgunakan untuk perbuatan koruptif dan tindakan kejahatan lainnya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang pakar Lord Acton bahwa kekuasaan itu korup dan kekuasaan yang mutlak akan cenderung melakukan korupsi secara mutlak pula. Telah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa perilaku dan perbuatan korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistemik serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Fakta lain yang tak terbantahkan bahwa dengan meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemik juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan yang biasa melainkan telah menjadi satu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (penjelasan umum atas UU No. 30/ 2002 tentang KPK). Upaya dimaksud termasuk menerapkan sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian.

Menurut Arya Maheka dalam sebuah bukunya berjudul Mengenali dan Memberantas Korupsi antara lain mengungkapkan beberapa hal penting yang layak dikutip. Diungkapkannya, (2) bahwa menurut Ignatius Haryanto dalam artikelnya di harian kompas, mengajak kita mencatat presatasi bangsa Indonesia: sebagai salah satu negara terkorup selama bertahun-tahun. Negara yang koruptornya paling rentan dengan kesehatan karena selalu sakit tiap kali hendak diperiksa atau diadili. Selanjutnya dipaparkan pula, bangsa ini terperanjat ketika Dato Param Cumaraswamy, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa korupsi di peradilan Indonesia adalah satu yang terburuk di dunia yang mungkin hanya bisa disamai Meksiko. Bahkan di mata orang bisnis, khususnya para investor Asia, korupsi di Indonesia, dalam hal ini adalah korupsi di pengadilan, Indonesia memperoleh skor 9,92 dari skala 1 sampai 10 dengan catatan yang mendapat skor 1 adalah yang terbaik dan yang mendapat skor 10 adalah yang terburuk. Skor ini tepat berada di atas India yang memperoleh angka 9,26 dan Vietnam yang mendapatkan skor 8,75.

Dari sisi berbagai faktor penyebab perbuatan korupsi di masyarakat, maka beberapa referensi dapat dijadikan rujukan yang cukup relevan. Melalui sebuah artikel saya yang berjudul HAM, Korupsi dan Pembuktian Terbalik, sebuah pendapat Ibnu Kholdun menarik dicermati, bahwa selama diangkat menjadi hakim seorang Ibnu Khaldun berusaha menghapus korupsi akhirnya berkesimpulan bahwa akar korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah di kalangan kelompok yang berkuasa (majalah spectra, vol. 009/ VIII/ 2002, hal 86). Sumber referensi KPK seputar: ciri-ciri korupsi, faktor penyebab, dan motivasi terjadinya korupsi (Arya Maheka, 23) antara lain:

Ciri-ciri korupsi (Alatas, 1983)

  • Dilakukan lebih dari satu orang.
  • Merahasiakan motif, ada keuntungan yang ingin diraih.
  • Berhubungan dengan kekuasaan/ kewenangan tertentu.
  • Berlindung di balik pembenaran hukum.
  • Melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum.
  • Mengkhianati kepercayaan.

Faktor Penyebab

  • Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara selalu berubah setiap bergant pemerintahan.
  • Penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
  • Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
  • Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
  • Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  • Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
  • Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
  • Budaya permisif/ serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  • Gagalnya pendidikan agama dan etika, ada benarnya pendapat Frans Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya. Sebab, agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (indopos. co. id, sept 2005).

Motivasi Korupsi ( Abdullah Hehamahua, 2005)

  • Korupsi karena kebutuhan.
  • Korupsi karena ada peluang.
  • Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri.
  • Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah.
  • Korupsi karena ingin menguasai suatu negara.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi terutama UU No. 31/ 1999 jo UU No. 20/ 2001, maka dapat dirumuskan unsur – unsur korupsi, yaitu:

  • Adanya perbuatan yang melawan hukum.
  • Memperkaya diri sendiri dan atau pihak lain.
  • Dapat merugikan perekonomian atau keuangan negara.
  • Adanya suap (pasal 12 B ayat (1) UU No. 20/ 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi)
  • Adamya gratifikasi (pasal 12 C ayat (2) UU No.20/ 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi) Arya, 16.

Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap jika penerima gratifikasi menyampaikan laporan kepada KPK selambatnya 30 hari sejak menerima gratifikasi tersebut. Seyogyanya segera melapor jika seseorang menerima gratifikasi (pemberian/ hadiah) agar tidak dianggap melakukan tindak pidana suap. Sebab pemberi dan penerima suap jika terbukti diancam dengan pidana, sesuai ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  1. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan latar belakang dan uraian deskripsi analisis maka beberapa kesimpulan dan saran yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Sebagai salah satu pilar bangsa, Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar mengandung nilai – nilai yang visioner dan universal, yang dapat digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan kita bernegara sebagaimana diamantkan dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk itu, Pancasila seyogyanya diposisikan sebagai Ideologi Terbuka, selain sebagai falsafah kenegaraan atau cita – cita negara dalam konteks kehidupan bernegara. Sebagai Ideologi Terbuka, maka nilai – nilai Pancasila diharapkan semakin terbuka ruang wacana yang dinamis oleh semua elemen bangsa untuk mencapai kesepakatan publik secara demokratis guna mewjudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam bingkai nilai – nilai keadilan sosial.
  2. Korupsi di Indonesia telah merupakan kejahatan yang luar biasa yang menjangkau semua lembaga negara, baik eksekutif, legislative, dan juga yudikatif, karena perilaku koruptif para oknum pejabatnya baik di Pusat maupun di Daerah yang cenderung tidak taat asas dan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya. Untuk itu perlunya sosialisasi dan diseminasi yang meluas dan intensif kepada semua elemen bangsa untuk senantiasa memahami dan mengamalkan secara nyata dan istiqomah, nilai – nilai Pancasila baik melalui peningkatan kualitas, pengamalan ajaran agama, dan kepercayaan yang dianutnya, memberi contoh keteladan hidup yang baik, dengan pola hidup yang sederhana, yang peduli terhadap sesame berdasarkan nilai – nilai Ketuhanan dan nilai – nilai kemanusiaan yang universal maka dapat dipastikan upaya penanggulangan korupsi secara permanen dan berkelanjutan baik yang bersifat pencegahan maupun pemberantasan dengan penuh optimis dapat diwujudkan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno, 2007, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Jakarta, Diadit Media.

Firdaus, Dailami, Ham, Korupsi dan Pembuktian Terbalik, Majalah Ilmiah Spektra, Jakarta, UIA.

Halim, A. Ridwan, 2011, DasarDasar Pengetahuan dan Penalaran Hukum Indonesia, Jakarta,  Univ. Atmajaya.

Harian Kompas, Edisi, 23 April 2011.

Ibrahim, Anwar, 1998, Renaissans Asia, Bandung, Mizan.

Maheka, Arya, Tanpa Tahun, Mengenali dan Memberantas Korupsi, www. kpk. go.id.

MPR RI, 2010, UUD Negara RI Tahun1945, Jakarta, Sekjen MPR-RI.

Mahfudz MD, Moh, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Press.

Rijadi, Prasetijo, 2010, Prawacana Hukum, Keadilan dan Pancasila dalam Mafia Hukum, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher.

UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, 2011, Bandung, Citra Umbara.

UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2011, Bandung Citra  Umbara.

UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, 2003, Yogyakarta, Media Presindo.